1 Apr 2008

Tolak Balak, Selamatkan Bumi

Memasuki bulan Suro yang lalu banyak ornag melakukan ritual berdasarkan tradisi. Harapannya agar masa yang akan datang keadaannya lebih baik. Agar terhindar dari bencana mereka melakukan upacara adat seperti ruwatan, larung sesaji, memandikan benda keramat yang semuanya tidak ada landasannya dalam agama Islam.

Kepercayaan orang Jawa bahwa bulan Suro adalah bulan keramat, sejalan dengan keterangan Al-Qur’an bahwa diantara 12 bulan terdapat empat bulan yang mulia (Q.S.9:36). Satu diantaranya adalah bulan Muharram. Dalam bulan ini terdapat satu hari bersejarah. Yaitu hari Asy-syuro – hari kesepuluh, hari kemerdekaan para nabi atau Rasul Allah. Dari kata Assy-Syuro inilah kemudian mereka menyebut bulan Muharram sebagai bulan Suro.


Satu hal yang perlu diluruskan. Upacara-upacara yang berbau klenik dan bisa menjurus kepada syidalam rangka tolak balak, jelas-jelas bertentangan dengan agama Islam sebagai agama Tauhid. Dalam Islam syirik termasuk dosa besar yang tidak dapat diampuni kecuali atas kehendak Allah. Karena bulan Suro dan kalender Jawa pada umumnya mengacu pada kalender Hidjriyah maka semestinya acara dan upacara yang dilakukan untuk menyambutnya senafas dengan tuntunan ajaran Islam. Bukan ritual yang bersifat klenik dan mendekati syirik. Bila hal itu tetap dilakukan berarti kembali kepada kepercayaan animisme-dinamisme dan merupakan kemunduran peradaban.

Ritual yang menganggap ada kekuatan lain diluar kekuatan Allah yang masih terus dilakukan justru akan menjadi magnit yang menrik setan-setan pembawa bencana. Sehingga musibah dan malapetaka tidak pernah berhenti sepanjang masa.

Perilaku khurafat berimbas pada sikap mental dan moral bangsa. Setan yang kemuannnya telah dituruti, berkeinginan untuk lebih menjerumuskan kepada manusia.. perbuatan-perbuatan kriminal seperti perampokan, pemcurian, korupsi, miras, narkoba, kebruntalan dan kekerasan masih mewarnai kehidupan sehari-hari.

Perilaku destruktif masih banyak dilakukan. Ilegal loging, pengurasan sumber daya alam, pengambilan besar-besaran ikan di laut yang menggunakan mesin-mesin raksasa, pengurukan pasir secara massal yang sebagian dikirim ke negeri tetangga adalah bentuk-bentuk pengrusakan yang diperbuat manusia di muka bumi.

Perilaku destruktif manusia menuai bencana. Kini kita rasakan akibatnya. Musibah demi musibah datang silih berganti. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami belum pulih-kembali menjadi baik-hingga kini. Sekalipun upaya dan kerja keras dari semua pihak untuk mengatasinya telah dilakukan. Datang lagi bencana dari langit. Angin punting beliung melanda dan menjebol pepohonan. Datangnya musim penghujan juga berarti datangnnya banjir di berbagai tempat. Bukan hanya wilayah yang berada si tepian sungai besar seperti Bengawan Solo yang terancam. Tapi juga kota-kota besar tepi pantai diserang gelombang pasang laut yang kian besar. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, tanah longsor pun terjadi dimana-mana yang membawa derita bagi para korban.

Sebagian besar dari bencana itu muncul karena ulah tanganmanusia. Juga terjadinya pemanasan global yang akhir-akhir ini dipandang sebagai ancaman mencemaskan bagi penduduk bumi.

Perusahan-perusahaan besar menggurita di negara-negara industri. Tanpa disadari pabrik-pabrik raksasa itu mengeluarkan emisi berlebihan dan menimbulkan polusi bagi lingkungannya. Namun negara-negara maju tidak begitu saja menerima tuduhan itu. Mereka justru menuding negara-negara berkembang itu menjadi pemicu terjadinya pemanasan global. Karena jantung dunia yang banyak terdapat di negara-negara berkembang berupa hutan menjadi gundul karena ditebang secara berlebihan.

Atau mungkin karena usia bumi yang sudah tua. Meskipun kehidupan manusia baru berlangsung puluhan ribu tahun, bumi yang kita huni ini sudah berumur hampir lima miliyar tahun. Sehingga ada yang berucap bahwa bumi kita ini sedang berjalan mendekati kehancurannya, alias kiamat sudah dekat. Wallahu a’alam.

Sementara perahu (bumi) yang kita tumpangi makin rapuh, beban bumi tidak bertambah ringan. Satu-satunya planet yang dapat dihuni oleh makhluk hidup ini makin hari makin besar bebannya. Penumpangnya selama seratus tahun terakhir berkambang biak dan berlipat ganda empat kali lipat dari satu setengah miliyar pada tahun 1900an menjadi enam miliyar saat ini. Bukan hanya ledakan beban berat yang ditanggung. Tetapi sumber daya alam, energi, air, dan lain-lain makin banyak dibutuhkan. Celakanya manusia belum sadar juga. Sebagian diantaranya mengumbar nafsu serakahnya dan mengeksploitasi secara bruntal tanpa mempertimbangkan kondisi bumi yang makin renta.

Akibatnya panas di atas permukaan bumi, gunung es dikutub utara dan selatan mulai meleleh. Hal ini ditandai oleh punahnya sebagian besar komunitas beruang kutub. Pemanasan global meningkatkan suhu bumi. Perubahan iklim pun terjadi. Air laut pasang meningkat. Banjir melanda kotya pantai, seperti Jakarta. Gelombang besar datang menggulung kapal-kapal dilautan. Angin punting beliung menjebol pepohonan dan menghancurkan rumah-rumah dan persawahan.

Masih belum sadarkah manusia setelah rahmat Allah itu tercabut, karena ulah tangannya? Waktu yang dimiliki penduduk bumi tinggal sedikit. Tidak lebih dari sepuluh tahun untuk segera memperbaiki diri dan lingkungannya. Agar azab yang lebih besar tidak diturunkan lagi.

(RAW; Mimbar Februari 2008)

Tidak ada komentar: