Hulun Yang dan tanah sekitarnya disebut sebagai Hila-hila. Huku Yang diartikan sebagai masyarakat Tengger, sedangkan Hila-hila adalah tanah suci. Kepercayaan yang sudah dianut sejak abad ke-10 itulah yang mendasari masyarakat Tengger menjalankan sekian banyak ritual dalam kehidupan mereka. Dalam satu tahun, mereka melakukan enam kali pujaan besar, yaitu :
1. Pujan Karo (Bulan Karo), diawalai tanggal 15 Kalender saka Tengger, disamping berupacara masyarakat Tengger juga melakukan anjang sana (silaturahmi) kepada semua sanak masyarakat Tengger. Uniknya tiap berkunjung harus menikmati hidangan yang diberikan oleh tuan rumahnya.
2.Pujan Kapat (Bulan Keempat) tanggal 4, dilakukan bersama-sama di setiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.
3.Pujan Kapitu (Bulan Tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (Nyepi) satu hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi puasa mutih (tidak makan makanan yang enak-enak), biasanya hanya memakan nasi jagung dan daun-daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati geni.
4. Pujan Kawolu (Bulan Delapan) tanggal 1 dilakukan bersama-sama dirumah kepala desa.
5. Pujan Kasangan (Bulan Sembilan) tanggal 24 setelah purnama masyarakat bersama anak-anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.
6. Kasada (Bulan Dua Belas) tanggal 15 dan 14, dilakukan di Ponten Pure Luhur, semmua masyarakat Tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya mesyarakat Tengger yang beragama hindu saja, tetapi juga semua masyarakat Tengger yang beragama lain. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah Gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juga bermusyawarah dan bersilaturahmi para dukun dan masyarakat Tengger.
Ada juga upacara yang dilakukan tiap lima tahun, yaitu upacara Unan-unan. Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngrawut jagad, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan karbau. Unan yaitu mengarungi bulan.
Upacara yang dilakukan secara individu :
1. Upacara Tujuh Bulanan (Sayut) dipimpin oleh pandita dukun.
2. Upacara lindungi anak, anak yang menginjak masa remaja.
3. Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut anak-anak yang menginjak umur 5 tahun (akan masuk sekolah). Upacara ini tidak wajib, jika keturunan pertama melaksanakan upacara ini dan sebaliknya jika keturunan pertama tidak melaksanakan, keturunan selanjutnya pun tidak diwajibkan untuk melaksanakan.
4. Upacara ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.
5. Upacara Kawihan (kawin), upacara ini seperti halnya ijab kobul.
6. Upacara Walagara (Temu Manten)
7. Upacara mendirikan rumah.
8. Upacara Kematian, minimal 4 hari setelah meninggalnya dilakukan upacara untas-untas (roh orang meninggal diharapkan kembali pada pemiliknya)
Sebagai sebuah masayarakat yang lekat dengan segala ritual, Tengger menempatkan sosok yang sangat terhormat dan disegani. Mereka bahkan lebih memilih tidak memiliki kepala pemerintahan desa daripada tidak memiliki pemimpin ritual. Jumlah dukun pada masyarakat Tengger ada 42 di setiap desa yang mengelilingi pegunungan Semeru dan Bromo tersebar di Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Malang. Para dukun Pandita, pemimpin ritual itu, tidak bisa dijabat sembarang orang. Sekian banyak persyaratan harus dipenuhi untuk menjadi perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh para leluhur, dan Buta Kala.
Pak dukun, demikian mereka dipanggil, bertugas menjadi penglantar (perantara) doa-doa masyarakatnya kepada Sang Pencipta. Masyarakat Tengger masih identik dengan agama Hindu, meskipun secara tata cara berbeda dengan agama Hindu yang ada di Bali. ”Sebagai Penglantar, kami dipercaya bisa membuat permohonan itu dikabulkan,: Ujar dukun desa Ngadasari, Sutomo (45).
Disitulah beratnya tugas sang dukun. Ada berbagai macam permintaan warganya, meskipun tidak pernah ada yang aneh-aneh, menunggu untuk diantarkan. Sering mereka harus mendatangi masing-masing rumah untuk keperluan mengantarkan doa tersebut. ”Apalagi pada bulan karo (Hari raya terbesar masyarakat Tengger), saya harus melayani pujian di setiap rumah, yang jumlahnya mencapai 500 keluarg,” kata Sutomo. Ia bisa memulainya pada pukul 02.00 dinihari dan baru pulang pukul 15.00 maka, seorang dukun harus sehat lahir batin untuk menjalankan tufas yang cukup berat, yang harus dilakukan seumur hidupnya.
Pemilihan dukun pandita awalnya hasil bermusyawarah dai kepala desa, tokoh masyarakat dan para sesepuh desa. Criteria dukun pandita adalah jujur, dapat bermasyarakat dengan baik, factor keturunan, dan pantang mo-limo. Sebelum mulai menjalankan tugasnya, para dukun Tengger harus memulai serangkaian ujian. Biasanya dilakukan bersamaan dengan puncak perayaan Kasada. Dukun pandita diuji dengan cara harus dapat membaca mantra dengan lancar. Seorang dukun pandita harus dapat menghafalkan upacara yang disebut mulunen itu merupakan sat dimana para dukun baru mengucapkan mantera panjang tanpa terputus sebagai syarat ujian mereka. Setelah mantra tersebut dihafalkan dengan benar, segera ketua dukun bertanya pada dukun-dukun lainnya, ”Sah?.. sah?” dan segera terdengar jawaban panjang, ”Saaaaaahh....” dan luluslah dukun baru itu. Meskipun sudah disahkan, tidak serta merta mereka bis alangsung menjalankan tugas. Mereka harus melalui upacara resik atau berkenalan dengan yang mbaurekso (penunggu) desa, juga pejabat formal dan informal. ”Resik disini artinya membersihkan jiwa dan raga. Jika sudah resik, barulah dukun boleh menjalankan tugasnya.” Kata Sutomo.
Satu lagi kewajiban berat dukun adalah menghafalkan puluhan mantra. Dukun Tengger dan mantra memang tidak bisa dipisahkan. Hidupnya adalah untuk membaca mantra dalam berbagai pujian. Mereka selalu dimintai mantra oleh para penduduk yang mempunyai suatu keinginan tertentu. Jumlah mantra yang harus dihafalkan oleh dukun mencapai 90 bab yang kebanyakan panjang dalam bahasa kawi (Jawa kuno). ”Semua mantra itu bersifat baik, tidak ada satupun mantra yang bersifat buruk seperti untuk penglarisan, tenung atau mengganggu orang lain. Semua mantra merupakan doa keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.” Tambah Sutomo. Diiringi wangi dupa dari Prapen (Tempat dupa dibakar), percikan air dari Prapen (tempat air suci diletakkan) doa dan mantra melambung ke alam semesta.
Pada upacara entas-entas atau pengruwatan, seorang dukun harus membaca mantra selama satu jam tanpa jeda. Mantra sepanjang itu harus dihafalkan diluar kepala, tidak boleh membaca catatan. Sutomo bangun setiap pukul 03.00 ketika pikirannya masih segar untuk menghafalkan mantra-mantra itu. Dalam masyarakat tradisional, sosok seorang pemimpin spiritual semacam dukun lebih disegani daripada pemimpin administrasi (pemerintah). Mereka mempunyai hukum masyarakat sendiri, di luar hukum formal yang berlaku dalam negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur dan mengendalikan berbagai persoalan dalam kehidupan kemasyarakatan mereka. Hampir sama dengan yang terjadi di Madura, bahwa sosok kiai memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Mereka akan lebih didengarkan daripada kepala desanya. Apa yang dikatakan kiai, itulah yang dituruti. Tampaknya dalam masyarakat Tengger pun terjadi hal demikian. Dukun dalam masyarakat Tengger tidak sama dengan dukun dalam masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan hal-hal supranatural.
Dukun di Tengger lebih dekat dengan masalah agama dan kepercayaan, bukan hal-hal supranatural. Agama yan g berlaku di Tengger, diistilahkan Pudjio sebagai agama tradisional. Memang kabur konepnya. Maka, ketika harus memilih kecenderungan di antara lima agama yang berlaku di Negara ini, mereka lebih dekat dengan agama Hindu. Maka mereka menyebut dukun sebagai dukun pandita. Seiring dengan banyaknya pengaruh yang masuk ke dalam masyarakat tradisional seperti Tengger melalui pariwisata atau teknologi komunikasi, terjadi cultural change, perubahan kebudayaan.
24 Mei 2008
Tokoh Kunci Langgengnya Suku Tengger
Ditulis :
Dewi Ana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar